Persentase ancaman paham khilafah terhadap nilai-nilai Pancasila justru sangat rendah yakni hanya 2,05 persen. Hal itu terungkap dalam survei yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat bersama Motion Cipta Matrix.
Dalam survei diketahui, 25,68 persen responden menyatakan bahwa ancaman terhadap Pancasila datang berita hoaks.
“Di mata warga Jabar, hoaks dan intoleransi berkontribusi mengancam Pancasila. Ini menjadi dua temuan yang menarik. Intoleransi ini isu yang muncul sewaktu-waktu. Sementara, hoaks atau berita menyesatkan merupakan ancaman yang hadir di masa kini,” ujar peneliti dari Motion Cipta Matrix, Wildan Hakim dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/4/2022).
Menurut akademisi dari Universitas Al-Azhar Indonesia ini, paham khilafah tidak memiliki persentase ancaman yang besar terhadap Pancasila. Hanya 2,05 persen responden yang menilai paham khilafah sebagai ancaman bagi Pancasila. Kemudian, 15 persen responden menilai isu intoleransi sebagai ancaman bagi Pancasila. Diikuti dengan isu SARA sebesar 8,41 persen.
Lebih lanjut survei ini juga mengungkapkan, 40 persen warga Jawa Barat memahami peran Pancasila sebagai dasar negara. Kemudian, 35 persen warga menilai peran Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dari pertanyaan lanjutan yang diajukan, diketahui sebanyak 88,86 persen responden mengaku sangat setuju Negara Indonesia dibangun berdasarkan Pancasila.
“Angka-angka persentase ini bisa memberikan gambaran yang menggembirakan. Pemahaman publik Jawa Barat masih seirama dengan kampanye Empat Pilar dari MPR serta upaya pembinaan Pancasila sebagai ideologi yang kini dijalankan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP,” ungkap lulusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS ini.
Penerapan dan Pengetahuan seputar Pancasila
Sebagai ideologi bangsa, Pancasila diharapkan bisa diterapkan dalam keseharian masyarakat Indonesia. 65,91 persen menilai pendidikan Pancasila di sekolah sudah mampu membina siswa guna memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian mereka.
Angka ini juga diperkuat dengan sikap 56,36 persen responden yang menyatakan bahwa Pancasila masih diterapkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
Dalam survei ini diketahui, pendidikan di sekolah masih menjadi sumber utama bagi warga Jawa Barat untuk mengetahui serta memahami esensi Pancasila.
Tercatat, 86,14 persen responden mengetahui Pancasila dari sekolah. Berikutnya, 3,41 persen responden tahu tentang Pancasila dari media massa.
Artinya, menurut Wildan saluran informasi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mengenai Pancasila mesti ditambah. Selama ini masyarakat mendapat asupan informasi dan pengetahuan tentang Pancasila dan turunannya hanya dari formal seperti sekolah. Pemerintah dalam hal ini seperti Badan Kesbangpol harus mulai memikirkan saluran alternatif lain yang memudan konten Pancasila di luar sekolah.
Sebanyak 87,50 persen responden mengetahui dengan baik jumlah sila dalam Pancasila. Sisanya mengaku tidak tahu. Angka ini terbilang menggembirakan, mengingat pemahaman dasar seputar Pancasila bisa diuji dari pertanyaan; berapa jumlah sila dalam Pancasila. 78,18 persen responden juga mengingat dengan baik jumlah lambang dalam Pancasila.
Para responden juga diuji ingatannya untuk menyebutkan lambang di setiap sila dalam Pancasila. Hasilnya, lambang sila pertama dalam Pancasila yakni gambar bintang menjadi lambang yang persentasenya paling tinggi diingat oleh responden. Ketepatan responden untuk menyebutkan bintang sebagai lambang sila pertama mencapai 46,59 persen.
Adapun, lambang sila keempat, menjadi lambang yang paling sulit diingat responden. Sebab, hanya 27,27 persen yang mengingat gambar kepala banteng sebagai lambang sila keempat.
Tim peneliti selanjutnya menguji responden secara terbalik. Yakni menyodorkan gambar lambang setiap sila dan meminta responden untuk menebak gambar tersebut sebagai lambang sila ke berapa. Ketepatan responden untuk menyebutkan bintang sebagai lambang sila pertama mencapai 36,36 persen.
“Angka persentase ini menjadi yang paling tinggi. Artinya, lambang bintang dan sila pertama dalam Pancasila, menjadi dua hal yang paling mudah diingat publik dibandingkan keempat lambang dan sila-sila lainnya,” tegas Wildan Hakim yang juga akademisi dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta ini.
Wawasan Kebangsaan Perlu Ditingkatkan
Selain menggali pemahaman tentang Pancasila, survei yang menjangkau 27 kabupaten dan kota di Jabar ini juga berupaya mengetahui wawasan kebangsaan para responden. Pertanyaan seputar wawasan kebangsaan semisal tentang kapan gerakan Budi Utomo dilahirkan. Hanya, 0.45 persen yang mampu menjawab dengan tepat Budi Utomo lahir pada 20 Mei 1908. Selanjutnya, hanya ada 1,59 persen responden yang dapat menyebut 28 Oktober 1928 sebagai tanggal kelahiran Sumpah Pemuda.
Begitu pula soal pengetahuan soal teks Sumpah Pemuda. Hanya 22,5 persen yang mengaku hafal isi teks Sumpah Pemuda. Dari jumlah tersebut, hanya 34,3 persen yang dapat menyebut dengan benar isi teks Sumpah Pemuda.
“Karena itu saran kami, pelajaran Pancasila dan Wawasan Kebangsaan harus mulai dipikirkan kembali menjadi salah satu mata pelajaran sekolah. Kesbangpol yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan fungsi penunjang urusan pemerintahan bidang kesatuan bangsa dan politik, meliputi ideologi dan wawasan kebangsaan, harus menjadi dirigen utama dalam memitigasi isu-isu soal Pancasila dan Wawasan Kebangsaan,” ucap Wildan.
Survei dilaksanakan 24 Maret hingga 5 April 2022 di seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat. Jumlah responden 440 orang yang sudah memiliki hak pilih atau yang sudah kawin atau menikah. Jumlah sebaran sampel responden sangat bergantung pada jumlah DPT masing kabupaten dan kota di Jawa Barat.
Teknik pencuplikan menggunakan metodologi multistage random sampling (acak berjenjaang). Adapun tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Margin of error ± 4,77 %. Menggunakan enumerator terlatih. Serta memperhatikan kualitas data dengan spot check sebanyak 20 persen dari jumlah responden. (*)
Sumber
The post Survei MC Matrix: Warga Jabar Sebut Hoaks dan Intoleransi Mengancam Pancasila appeared first on Universitas Al Azhar Indonesia.
Source: UAI